PPK LEMAHABANG

Panitia Pemilihan Kecamatan Lemahabang. Pelaksana Tahapan Penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Karawang Tahun 2010.

MAKAM SYECH QURO

Lokasi Wisata Religius, Makam Syech Quro di Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang, dikunjungi oleh Peziarah dari berbagai kota terutama pada setiap malam Sabtu, hingga di kenal dengan sebutan Saptuan.

MANG AJAT

Punggawa Blog ini, Akun Facebook Ajat Apana Gin's dengan trademark (Aya..... Aya..... Wae.....) pada setiap penutup update statusnya.

TANAMAN PADI

Lahan pertanian yang luas, Padi yang bernas, hasil yang melimpah, tapi mengapa swasembada pangan hanya ada dalam impian indah yang disodorkan oleh para pejabat tinggi, hingga harga beras melambung tinggi.

ANGEUN OSKADON

Lauk pauk tradisional alternatif, dengan olahan dan bumbu sederhana menjadikan sayur ini sangat menggugah selera, masyarakat di wilayah utara Karawang -Rengasdengklok dan sekitarnya menyebutnya dengan Angeun Oskadon.

Kamis, 21 Januari 2010

20012010-Buat Lo.... Sayang Lo Gak Punya FB....

Pikirkanlah apa yang dapat kamu berikan kepada sahabatmu bukan apa yang dapat kamu peroleh dari persahabatan. Jangan bersahabat hanya demi memperoleh kesenangan, karena jika demikian, kamu bukanlah sahabat sejati. Hargailah sahabatmu seperti kamu ingin dihargai. Dukunglah sahabatmu. Sahabat sejati selalu saling menyemangati dan ‘mendorong’supaya mereka bersama-sama dapat menjadi yang terbaik bukannya saling menjatuhkan.

Karenanya selalulah berucap syukur pada TUHAN. Yang karena keKuasaan-Nya, mampu teteskan air mata saat haru bahagia menyeruak pada jiwa kita. Dan saat sedih dan pedih merambahi diri.

Jangan pernah mencela. Jauhkan sikap yang selalu ingin agar diri ini mendapat yang terbaik, sementara yang lain tidak. Sadarkah dirimu kawan, bahwa semua yg TERBAIK sudah kmu dapatkan saat itu juga.

Bagi orang-orang yg mengetahuinya, dibalik sakit terdapat hikmah yg LUAR BIASA. Dibalik kekecewaan terdapat ILMU yg mampu membuat diri kita semakin Dewasa.

Sesungguhnya, gelap-terang sudah merupakan taqdir Illahi. Mungkinkah kmu meminta pada TUHAN agar malam berubah menjadi siang yg terang benderang? atau dunia ini tidak ada istilah Miskin – Kaya?

Kita takkan pnh tahu bagaimana temaramnya malam TANPA kita tahu bagaimana terangny siang. Kita takkan pernah tahu bagaimana lezatnya Cinta TANPA kita tahu bagaimana perihnya Benci.

Intinya adalah, syukuri dan nikmati semua yg kita dapatkan. Mau itu manis-pahit, sehat-sakit, bahagia-nestapa. Karena semua berawal dari TUHAN. (Aya....Aya... Wae...)

Rabu, 20 Januari 2010

NGINDUNG KA WAKTU, NGABAPA KA JAMAN



Ngindung ka waktu, ngabapa ka jaman. Begitulah salah satu bunyi peribahasa Sunda sebagai kearifan lokal (local wisdom) yang perlu dihikmati bersama. Di tengah ghirah reformasi bangsa Indonesia menuju masyarakat madani, seluruh komponen bangsa dituntut bersama-sama untuk mewujudkannya, tidak terkecuali seorang guru. Dengan demikian, kualifikasi seorang guru di era reformasi sekarang ini sejatinya berterima dengan tuntutan jaman.Reformasi artinya menata ulang, menata kembali tatanan kehidupan sebelumnya menuju ke arah yang lebih baik semacam hijrah dari kebatilan menuju yang hak, dari kemunkaran menuju yang diridhoi. Dalam era reformasi, seorang guru yang sebelumya tidak berkompeten dalam bidangnya dan tidak profesional dalam kinerjanya diharapkan menjadi guru yang berkompeten dan profesional. Secara formal, harapan itu tengah diupayakan oleh Pemerintah dengan lahirnya kebijakan mengenai sertifikasi tenaga pendidik dan kependidikan sebagai salah satu agenda reformasi pendidikan di Indonesia. Sebab dari itu, sudah menjadi kewajiban seorang guru untuk mensukseskan agenda reformasi pendidikan tersebut.Seorang guru yang mengikuti sertifikasi belum termasuk mensukseskan agenda reformasi pendidikan bila niatnya hanya untuk mengejar materi belaka. Karena jika diniatkan seperti itu, seorang guru akan mudah tergoda untuk menghalalkan segala cara agar bisa lulus dari uji sertifikasi. Contohnya, sering kali seorang guru dalam uji sertifikasi melakukan praktik memanipulasi data portofolionya. Kenyataan demikian tentu saja sangat patut disayangkan karena telah keluar dari jalan lurus reformasi pendidikan yang telah diagendakan atau telah menjadi seorang yang kontra reformasi.

Sebaliknya, seorang guru yang belum mengikuti sertifikasi sudah termasuk mensukseskan agenda reformasi pendidikan bila di antaranya telah menerapkan prinsip hidup “belajar sepanjang hayat” dan bersikap amanah. Prinsip hidup “belajar sepanjang hayat” akan menuntun seorang guru menjadi lebih berkompeten dalam bidangnya. Sedangkan bersikap amanah akan menuntun seorang guru menjadi lebih profesional dalam kinerjanya.
Bersandar pada kenyataan bahwa ilmu itu luasnya tanpa batas dan terus berkembang secara cepat dan pesat, prinsip hidup “belajar sepanjang hayat” menegasikan sikap seorang guru yang merasa cukup dengan ilmu yang didapat. Seorang guru yang bersikap seperti itu dalam kesehariannya hanya akan disibukkan oleh administrasi di kelas alih-alih meluangkan waktu untuk terus menambah ilmu, apakah itu melalui jalur pendidikan formal ataupun otodidak.
Banyak di antara rekan guru yang tidak mempunyai kesempatan untuk melanjutkan lagi pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi karena hambatan waktu ataupun biaya. Tetapi, hal itu bukanlah suatu harga mati untuk terus menambah ilmu. Kenapa tidak dicoba dengan otodidak, belajar sendiri, yang salah satunya adalah dengan rajin membaca buku. Siapapun pasti pernah mendengar ungkapan “buku adalah gudangnya ilmu”.
Kualitas manusia, dalam hal ini guru, yang belajar otodidak tidak kalah bersaing dengan yang belajar melalui jalur pendidikan formal. Contoh yang sangat prestisius sudah dibuktikan oleh seorang Ajip Rosidi, sastrawan dan budayawan yang menjadi sensei “guru” di beberapa universitas di Jepang. Ilmu yang didapat oleh beliau bukanlah melalui jalur perguruan tinggi melainkan otodidak dengan rajin membaca buku. Ketika seorang guru sudal lahap membaca buku yang berhubungan dengan disiplin ilmunya, dengan sendirinya guru tersebut berkompeten dalam bidangnya.
Di samping itu, sikap amanah mesti tertanam dalam diri seorang guru. Amanah artinya menerima dan menjaga kepercayaan yang telah diberikan dengan penuh tanggung jawab. Menjadi seorang guru adalah amanah untuk mendidik anak-anak bangsa menjadi manusia yang berprestasi dan berakhlak mulia. Seorang guru yang bersikap amanah akan penuh tanggung jawab ketika kegiatan belajar mengajar di kelas berlangsung. Misalnya, tidak akan keluar perintah untuk siswanya: “Silakan baca bab sekian, dan kerjakan latihan soalnya!”, sementara guru tersebut asyik menghibah di ruang guru.
Sikap amanah seorang guru ini akan diuji ketika guru tersebut menjadi salah seorang juri pada lomba yang diadakan untuk mengukur prestasi siswa, misalnya menjadi juri “Lomba Calistung (Membaca, Menulis, dan Berhitung) Tingkat SD Kelas 1 dan 2”. Bagaimana seorang guru yang menjadi juri lomba tersebut harus mampu menempatkan objektivitasnya dan menyisihkan subjektivitasnya. Ketika subjektivitas berbicara, maka serta merta guru tersebut telah mendzolimi siswa yang benar-benar berprestasi.
Seorang guru yang telah lulus dalam ujian ini akan mampu memberikan penilaian yang jujur dan adil pada semua siswa yang mengikuti lomba tersebut. Tidak akan ada lagi pemilahan: “Ini siswa sd negeri, itu siswa sd swasta”, “Ini anak didik saya, itu bukan anak didik saya”, dan berbagai pemilahan lainnya yang mengandaikan oposisi biner “Yang Ego” dan “Yang Lain”. Hanya dengan bersikap amanah seorang guru akan masuk ke dalam maqom seorang guru yang profesional dalam kinerjanya.
Sebagai epilog dalam tulisan ini saya ingin menegaskan bahwa sudah bukan jamannya lagi ketika ada seorang guru yang masih malas membaca, malas mengajar di kelas, dan seabreg malas yang lainnya atau sudah bukan jamannya lagi ketika masih ada seorang guru yang menjadi juri sebuah lomba tidak profesional dalam kinerjanya. Kalaulah seorang guru masih bebal melakukan praktik serupa itu, maka guru tersebut belum menghikmati peribahasa Sunda yang bunyinya: “Ngindung ka waktu, ngabapa ka jaman”. Cag !

Jumat, 01 Januari 2010

Mundinglaya Dikusumah

Prabu Silihwangi memiliki dua orang istri yaitu Nyimas Tejamantri dan Nyimas Padmawati yang menjadi permaisuri. Dari Nyimas Tejamantri, Prabu Silihwangi mendapat seorang anak yaitu pangeran Guru Gantangan. Sedangkan dari permaisuri Nyimas Padmawati, raja memperoleh anak yang diberi nama Mundinglaya. Beda umur antara pangeran Guru Gantangan dan pangeran Mundinglaya sangat jauh. Saat pangeran Guru Gantangan ditunjuk jadi bupati di Kutabarang dan sudah menikah, Mundinglaya masih anak-anak.
Karena tidak mempunyai anak, pangeran Guru Gantangan memungut anak dan diberi nama Sunten Jaya. Guru Gantangan juga tertarik untuk merawat Mundinglaya sebagai anaknya. Saat pangeran Guru Gantangan meminta Mundinglaya dari permaisuri Nyimas Padmawati, permaisuri memberikannya karena mengetahui bahwa pangeran Guru Gantangan sangat menyayangi pangeran Mundinglaya.
Saat pangeran Mundinglaya dewasa, pangeran Guru Gantangan lebih menyayangi pangeran Mundinglaya daripada pangeran Sunten Jaya. Hal ini disebabkan perbedaan karakter yang sangat jauh antara pangeran Mundinglaya dan pangeran Sunten Jaya. Pangeran Mundinglaya selain rupawan juga baik budi pekertinya sedangkan keponakannya sifatnya angkuh dan manja. Hal ini sangat membuat iri pangeran Sunten Jaya. Terlebih lagi ibunya juga sangat menyayangi pangeran Mundinglaya.
Hanya saja perhatian istri pangeran Guru Gantangan kepada pangeran Mundinglaya sangat berlebihan sehingga membuat pangeran Guru Gantangan cemburu. Akhirnya pangeran Mundinglaya dijebloskan kedalam penjara oleh saudara tirinya itu dengan alasan bahwa pangeran Mundinglaya mengganggu kehormatan wanita. Keputusan ini menjadikan mayarakat dan bangsawan Pajajaran terpecah dua, ada yang menyetujui dan ada yang menentang keputusan tersebut sehingga mengancam ketentraman kerajaan kearah permusuhan antar saudara.
Pada saat yang gawat ini, terjadi sesuatu yang aneh. Pada suatu malam, permaisuri Nyimas Padmawati bermimpi aneh. Dalam tidurnya, permaisuri melihat tujuh guriang, yaitu mahluk yang tinggal di puncak gunung. Diantara mereka ada yang membawa jimat yang disebut Layang Salaka Domas. Permaisuri mendengar perkataan guriang yang membawa jimat tersebut: “Pajajaran akan tenteram hanya jika seorang kesatria dapat mengambilnya dari Jabaning Langit.”
Segera setelah bangun pada pagi harinya, permaisuri menceritakan mimpi itu kepada raja. Prabu silihwangi sangat tertarik oleh mimpi permaisuri dan segera meminta seluruh rakyat juga bangsawan, termasuk pangeran Guru Gantangan dan pangeran Sunten Jaya, untuk berkumpul di depan halaman istana untuk membahas mimpinya permaisuri. Setelah seluruhnya berkumpul, raja berkata: “Adakah seorang kesatria yang berani pergi ke Jabaning Langit untuk mengambil jimat Layang salaka domas?”
Senyap! Tidak ada suara yang terdengar. Pangeran Sunten Jaya pun tidak mengeluarkan suaranya. Dia takut akan barhadapan dengan Jonggrang Kalapitung, seorang raksasa berbahaya yang selalu menghalangi jalan ke puncak gunung. Setelah beberapa saat, patih Lengser angkat bicara: “Paduka,” dia berkata, “setiap orang telah mendengarkan apa yang disampaikan paduka, kecuali masih ada satu orang yang belum mendengarkannya. Dia berada dalam penjara. Paduka belum menanyainya. Dia adalah pangeran Mundinglaya.” Mendengar ini, raja memerintahkan agar pangeran Mundinglaya dibawa menghadap. Patih Lengser kemudian meminta izin pangeran guru Gantangan untuk melepaskan pangeran Mundinglaya.
Saat pangeran Mundinglaya sudah berada di hadapannya, raja berkata: “Mundinglaya, maukah ananda mengambil jimat layang salaka domas, yang diperlukan untuk mencegah negara dari kehancuran akibat malapetaka?” Karena layang salaka domas penting bagi keselamatan negara, ananda akan pergi mencarinya, ayahanda,” kata pangeran Mundinglaya.
Prabu Silihwangi sangat senang mendengar jawaban ini. Demikian juga masyarakat dan para bangsawan. Bagi pangeran Mundinglaya, tugas ini juga berarti kebebasan jika dia berhasil mendapatkan layang salaka domas. Sementara bagi pangeran Sunten Jaya ini berarti menyingkirkan musuhnya, karena dia yakin bahwa pamannya akan dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. “Kakek,” kata pangeran Sunten Jaya, “dia adalah seorang tahanan, jika kakek membiarkannya pergi sekarang, tidak akan ada jaminan bahwa dia akan kembali.”
“Apa yang cucunda usulkan, Sunten Jaya?”
“Jika dia tidak kembali setelah sebulan, penjarakan kanjeng ibu Padmawati dalam istana.” Masyarakat dan bangsawan kaget mendengar permintaan ini. Prabu Silihwangi berbalik kepada pangeran Mundinglaya: “Bagaimana menurutmu?”
”Ananda akan kembali dalam sebulan dan setuju dengan usulan Sunten Jaya.”
Dalam beberap minggu, pangeran Mundinglaya diajari oleh patih Lengser ilmu perang dan cara menggunakan berbagai senjata sebagai bersiapan untuk menghadapi rintangan yang akan ditemui selama perjalanan ke Jabaning Langit. Kemudian pangeran Mundinglaya meninggalkan Pajajaran. Karena dia tidak pernah keluar dari ibukota tersebut, pangeran Mundinglaya tidak mengetahui jalan ke Jabaning Langit. Dengan berserah diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa, sang pangeran pergi melewati berbagai hutan lebat untuk menemukan Jabaning Langit dan bertemu dengan para guriang.
Dalam perjalanan, pangeran Mundinglaya melewati kerajaan kecil Muara Beres (atau Tanjung Barat) yang merupakan bawahan dari Pajajaran. Disana pangeran Mundinglaya bertemu dan jatuh hati dengan putri kerajaan yang bernama Dewi Kania atau Dewi Kinawati. Mereka saling berjanji akan bertemu lagi setelah pangeran Mundinglaya berhasil menjalankan tugas dari Prabu silihwangi untuk memperoleh jimat layang salaka domas.
Pangeran Mundinglaya meneruskan perjalanannya. Tiba-tiba di tengah perjalanan dia dicegat oleh raksasa Janggrang Kalapitung yang berdiri di depannya. “Mengapa kamu memasuki wilayahku? Apakah kamu menyerahkan diri sebagai santapanku?”
“Coba saja kalau bisa!” jawab pangeran Mundinglaya dengan tenang. Jonggrang Kalapitung menubruknya tapi pangeran Mundinglaya berkelit.
Berkali-kali si raksasa menyerang pangeran Mundinlaya, tapi lagi dan lagi jatuh ke tanah sampai akhirnya kehabisan nafas. Dengan kerisnya, pangeran Mundinglaya mengancam musuhnya:
“Katakan dimana Jabaning Langit?”
“Di dalam dirimu.” Berpikiran bahwa si raksasa berbohong, pangeran Mundinglaya menekankan keris lebih dalam ke leher si raksasa. “Jangan berbohong! Di manakah Jabaning Langit?”
“Di dalam hatimu.” Setelah itu, pangeran Mundinglaya melepaskan raksasa tersebut, sambil berkata: “Aku membebaskanmu, tapi jangan ganggu rakyat Pajajaran lagi.” Jonggrang Kalapitung menuruti dan berterima kasih kepada pangeran Mundinglaya dan meninggalkan Pajajaran selamanya.
Ketika dia pergi, pangeran Mundinglaya menemukan suatu tempat untuk beristirahat dan berdoa meminta tolong kepada tuhan yang Maha Esa untuk diberikan jalan. Suatu hari dia merasakan seolah-olah terangkat dari tempatnya dan terbang ke suatu tempat yang sangat terang. Di sana dia diterima oleh tujuh guriang, mahluk-mahluk supranatural yang menjaga Layang Salaka Domas.
Mereka bertanya kepada pangeran Mundinglaya mengapa berani datang ke Jabaning Langit. “Tujuanku datang ke sini adalah untuk mengambil Layang Salaka Domas yang diperlukan oleh negaraku sebagai obat untuk mencegah permusuhan antar saudara. Akan banyak orang menderita dan mati memperebutkan yang tidak jelas.” “Kami menghargaimu, pangeran Mundinglaya, tapi kami tidak dapat memberimu Layang Salaka Domas karena ini bukan untuk manusia. Bagaimana kalau pemberian lain sebagai hadiah untukmu? Misalnya seorang putri cantik atau kesejahteraan, atau kami dapat menjadikanmu manusia tersuci di dunia?”
“Aku tidak memerlukan semua itu, jika rakyat Pajajaran terlibat dalam perang.”
“Kalau begitu, kamu harus merebutnya setelah mengalahkan kami.” Maka terjadilah perkelahian. Karena para guriang sangat kuat, pangeran Mundinglaya terjatuh dan meninggal. Segera setelah itu, muncul mahluk supranatural lainnya, yaitu Nyi Pohaci yang menampakkan diri dan menghidupkan kembali pangeran Mundinglaya. Pangeran Munding Laya bersiap kembali untuk bertempur dengan para guriang.
“Tida perlu ada lagi pertempuran, karena engkau telah menunjukkan sifatmu yang sebenarnya,” kata salah satu dari tujuh guriang, “jujur, tidak tamak. Engkau mempunyai hak untuk membawa Layang Salaka Domas.” Dan dia kemudian memberikannya kepada pangeran Mundinglaya. Pangeran Mundinglaya sangat bergembira dan mengucapkan terima kasih. Dia juga berterima kasih kepada Nyi Pohaci atas bantuannya. Dengan dipandu oleh tujuh guriang yang kemudian menyebut diri mereka sebagai Gumarang Tunggal, pangeran Mundinglaya pergi pulang ke Pajajaran.
Di Pajajaran, pangeran sunten Jaya mengganggu ketentraman permaisuri. Kepada Prabu Silihwangi, pangeran Sunten Jaya mengatakan bahwa permaisuri sebenarnya tidak bermimpi, bahwa dia berdusta untuk membebaskan putranya dari penjara. Dengan demikian, dia membujuk Prabu Silihwangi untuk menghukum mati permaisuri.
Pangeran Sunten Jaya bahkan lebih jauh berniat untuk mengganggu ketentraman Dewi Kinawati di Muara Beres dengan menceritakan bahwa pangeran Mundinglaya telah dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. Tentara digelar untuk mendatangi kerajaan itu. Pada saat yang gawat tersebut, pangeran Mundinglaya beserta ajudannya telah sampai ke Pajajaran. Mereka senang dan berteriak kegirangan. Pangeran Sunten Jaya dan pengikutnya diusir.
Setelah itu. Prabu Silihwangi menobatkan pangeran Mundinglaya sebagai raja Pajajaran menggantikannya dengan gelar Mundinglaya Dikusumah.
Tidak lama setelah itu, Mundinglaya Dikusumah menikahi Dewi Kinawati dan menjadikannya sebagai permaisuri dan Pajajaran menjadi negara yang adil makmur dan aman.

Catatan : 
Layang salaka domas = Salib berbentuk/berwarna Emas adalah simbol kerajaan Portugal/is.
Munding Laya adalah nama pantun, nama aslinya Adalah Surawisesa, Putra Sri Baduga Maharaja dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal. Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan “kasuran” (perwira), “kadiran” (perkasa) dan “kuwanen” (pemberani).
Jabaning Langit adalah tempat kekuasaan Portugis di Malaka,Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuquerque (Laksamana Bungker/guriang tujuh) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521).
Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan.
Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan…

Jongrang Kalapitu kemungkinan sebutan untuk Fatahilah dan Pangeran Kuningan yang berperawakan tinggi dan tegap, karena setelah pertemuan itu kedua orang tsb baik Pangeran Kuningan dan Fatahillah tidak turut serta ketika Banten, Cirebon, dan Demak menjatuh kan Pajajaran Ntuk Terakhir kalinya…
Bahkan Pangeran Kuningan pernah bersumpah ke Pangeran Surawisesa, bahwa dia takan mengambil Tanah atau kembali ketanah moyangnya di Kuningan kecuali jika Pajajaran Masih exist

CARI ARTIKEL DAN TULISAN

Loading

SELAMAT DATANG

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More